Kamis, 26 April 2012

26 April 2012

  1. Jaksa Penuntut Umum pada Cabjari Suliki telah mulai menyidangkan perkara Pencurian dengan pemberatan atas nama terdakwa WERA SUTAN (Reg. Perkara : PDM-12/PYKBH.2/04/2012) melanggar Pasal 363 ayat (1) ke-3 dan ke-5 KUHP. Agenda sidang hari ini adalah pembacaan Surat Dakwaan. 
  2. Agenda persidangan lainnya adalah pembacaan Surat Tuntutan atas nama terdakwa HASAN BASRI, nomor Register PDM-10/PYKBH.2/04/2012, melanggar Pasal 365 ayat (2) ke-1 dan ke-3 KUHP atau Pasal 363 ayat (1) ke-3 dan ke-5 KUHP (pencurian dengan kekerasan / dalam keadaan memberatkan), berdasarkan fakta persidangan ternyata terdakwa ybs merupakan seorang Residivis yang telah sering melakukan tindak pidana (pencurian dan penganiayaan) sebelumnya di berbagai wilayah di Sumatera Barat dan telah beberapa kali di pidana penjara. Maka hal tersebut merupakan alasan memberatkan terhadap terdakwa, sehingga Jaksa Penuntut Umum pada Cabjari Suliki dalam Surat Tuntutan tersebut menuntut terdakwa untuk dihukum pidana penjara selama 2 (dua) tahun.
  3. Agenda lainnya adalah sidang lanjutan atas nama terdakwa BENI EKA PUTRA (nomor Register PDM-11/PYKBH.2/04/2012, melanggar Pasal 111 ayat (1) UU no. 35 tahun 2009 tentang Narkotika), yaitu untuk mendengarkan keterangan para saksi.

Jumat, 20 April 2012

Penghapusan Prapenuntutan Bisa Berbuah Resistensi

Salah satu solusi mengatasi masalah berlarut-larutnya penanganan berkas perkara pidana adalah memutus mata rantai prapenuntutan. Dengan menghapus mata rantai prapenuntutan, jaksa sudah terlibat memberi arahan kepada penyidik sejak awal penyidikan dimulai. Demikian pula halnya ketika jaksa mulai menuntut, polisi bersiap-siap mendampingi. Polisi dan jaksa harus mempertanggungjawabkan berkas perkara yang mereka susun.

Namun, kehadiran jaksa sejak awal penyidikan bukan tanpa hambatan. Praktisi hukum Luhut MP Pangaribuan khawatir ada resistensi dari kepolisian. Kehadiran jaksa bisa ditafsirkan seolah-olah polisi merupakan ‘bawahan’ jaksa. “Yang jadi masalah, terjadinya resistensi, terutama dari polisi,” ujarnya kepada hukumonline.

Luhut dimintai komentar pekan lalu sehubungan dengan gagasan Tim Penyusun RUU KUHAP untuk memotong jalur birokrasi dalam prapenuntutan. “Supaya berkas tidak bolak balik terus antara penyidik dan penuntut seperti yang selama ini terjadi,” kata Andi Hamzah memberi alasan. Prof. Andi Hamzah adalah ketua Tim Penyusun RUU KUHAP.

Dalam rezim KUHAP, kata Luhut, polisi memiliki kewenangan yang sangat luas. Penghapusan prapenuntutan sama saja upaya memotong sedikit kewenangan itu, dan Luhut yakin polisi enggan. Kalaupun resistensi ada, kata advokat yang meraih gelar doktor ilmu hukum dari Universitas Indonesia itu, ini menjadi tantangan buat Tim Penyusun RUU KUHAP. Tentu saja, Tim sudah mempertimbangkan praktik KUHAP yang selama ini menimbulkan problem.

Dalam seminar RUU KUHAP yang diselenggarakan Komisi Hukum Nasional (KHN) 9 November lalu, Andi Hamzah menegaskan pentingnya memotong birokrasi KUHAP yang berbelit-belit. Namun seperti pernah disampaikan Andi, penyusunan RUU KUHAP berjalan tertatih-tatih selama sembilan tahun terakhir. Polisi malah sudah pernah menyampaikan keberatan atas beberapa konsep RUU KUHAP. Untuk memberikan pemahaman yang sama, Tim Penyusun sempat mengajak perwakilan polisi melakukan studi banding penerapan hukum acara pidana di beberapa negara.

Pengajar hukum pidana Universitas Indonesia, Mardjono Reksodiputro mengatakan dalam sistim peradilan pidana, kepolisian dan kejaksaan harus bekerjasama secara in tandem. Polri bukan hanya satu-satunya yang memenang kewenangan kepolisian. Bea Cukai, Ditjen Pajak, dan Imigrasi juga memegang kewenangan tersebut. Perbedaan wewenang kepolisian dan wewenang penuntut umum harus dilihat dalam pengertian division of powers (pembagian kekuasaan), bukan pemisahan kewenangan. Tujuan pembagian kewenangan itu, kata Prof. Mardjono, adalah untuk saling mengawasi. “Saling mengawasi dalam kewenangan berimbang, dengan tujuan sinergi”. 


Tiga Puluh Tahun KUHAP

Perkembangan hukum pidana formil tampaknya sulit dibendung. Satu per satu aturan KUHAP diperbaiki oleh peraturan lain atau putusan hakim. Tak ubahnya seperti kebijakan tambal sulam. Ada peraturan yang secara hierarkhis berada di bawah UU No 8 Tahun 1981 (KUHAP). Misalnya, PP No 58 Tahun 2010 yang menambal kekurangan aturan KUHAP mengenai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).

Upaya membangun Sistim Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System) yang diusung KUHAP ternyata masih mengandung kelemahan. Dalam sistim yang terintegrasi, seharusnya posisi petugas lembaga pemasyarakatan juga penting dan setara dengan profesi lain. Bedanya, petugas pemasyarakatan bekerja pasca proses ajudikasi. “KUHAP belum mengatur banyak mengenai pemasyarakatan,” kata ahli hukum pidana Mudzakkir, dalam seminar “Penguatan Pemasyarakatan dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu Melalui Revisi KUHAP” di Kementerian Hukum dan HAM, Mei 2011 lalu.
Sumber terkait : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4efd3ad3be2f5/tiga-puluh-tahun-kuhap

Kamis, 19 April 2012

Sikap Kejaksaan tentang "Kasus Kecil"



Kasus pencurian sandal, pisang, kakao, dan piring mengundang keprihatinan banyak pihak. Bagaimana tidak, acap kali penegak hukum terlihat “garang” ketika menangani kasus seperti ini, ketimbang menangani kasus-kasus besar yang melibatkan pejabat, perusahaan, atau aparat pemerintahan.

Padahal, secara ekonomis, kerugian yang diderita akibat tindak pidana tersebut tidak terlalu signifikan dibanding dengan tindak pidana lain, seperti korupsi. Bahkan, kasus-kasus kecil seperti ini, seharusnya dapat diupayakan perdamaian, sehingga tidak sampai ke pengadilan.

Pendapat seperti itu tidak hanya datang dari masyarakat umum. Jaksa Agung Basrief Arief juga menyatakan hal yang sama. Menurutnya, kasus-kasus wong cilik seperti ini memang mengundang keprihatinan masyarakat, termasuk aparat penegak hukum.