- Jaksa Penuntut Umum pada Cabjari Suliki telah mulai menyidangkan perkara Pencurian dengan pemberatan atas nama terdakwa WERA SUTAN (Reg. Perkara : PDM-12/PYKBH.2/04/2012) melanggar Pasal 363 ayat (1) ke-3 dan ke-5 KUHP. Agenda sidang hari ini adalah pembacaan Surat Dakwaan.
- Agenda persidangan lainnya adalah pembacaan Surat Tuntutan atas nama terdakwa HASAN BASRI, nomor Register PDM-10/PYKBH.2/04/2012, melanggar Pasal 365 ayat (2) ke-1 dan ke-3 KUHP atau Pasal 363 ayat (1) ke-3 dan ke-5 KUHP (pencurian dengan kekerasan / dalam keadaan memberatkan), berdasarkan fakta persidangan ternyata terdakwa ybs merupakan seorang Residivis yang telah sering melakukan tindak pidana (pencurian dan penganiayaan) sebelumnya di berbagai wilayah di Sumatera Barat dan telah beberapa kali di pidana penjara. Maka hal tersebut merupakan alasan memberatkan terhadap terdakwa, sehingga Jaksa Penuntut Umum pada Cabjari Suliki dalam Surat Tuntutan tersebut menuntut terdakwa untuk dihukum pidana penjara selama 2 (dua) tahun.
- Agenda lainnya adalah sidang lanjutan atas nama terdakwa BENI EKA PUTRA (nomor Register PDM-11/PYKBH.2/04/2012, melanggar Pasal 111 ayat (1) UU no. 35 tahun 2009 tentang Narkotika), yaitu untuk mendengarkan keterangan para saksi.
SATYA, ADHI, WICAKSANA. Selamat datang di Situs Blog Cabang Kejaksaan Negeri Payakumbuh Di Suliki.
Kamis, 26 April 2012
26 April 2012
Jumat, 20 April 2012
Penghapusan Prapenuntutan Bisa Berbuah Resistensi
Salah
satu solusi mengatasi masalah berlarut-larutnya penanganan berkas
perkara pidana adalah memutus mata rantai prapenuntutan. Dengan
menghapus mata rantai prapenuntutan, jaksa sudah terlibat memberi arahan
kepada penyidik sejak awal penyidikan dimulai. Demikian pula halnya
ketika jaksa mulai menuntut, polisi bersiap-siap mendampingi. Polisi dan
jaksa harus mempertanggungjawabkan berkas perkara yang mereka susun.
Namun,
kehadiran jaksa sejak awal penyidikan bukan tanpa hambatan. Praktisi
hukum Luhut MP Pangaribuan khawatir ada resistensi dari kepolisian.
Kehadiran jaksa bisa ditafsirkan seolah-olah polisi merupakan ‘bawahan’
jaksa. “Yang jadi masalah, terjadinya resistensi, terutama dari polisi,”
ujarnya kepada hukumonline.
Luhut
dimintai komentar pekan lalu sehubungan dengan gagasan Tim Penyusun RUU
KUHAP untuk memotong jalur birokrasi dalam prapenuntutan. “Supaya
berkas tidak bolak balik terus antara penyidik dan penuntut seperti yang
selama ini terjadi,” kata Andi Hamzah memberi alasan. Prof. Andi Hamzah
adalah ketua Tim Penyusun RUU KUHAP.
Dalam
rezim KUHAP, kata Luhut, polisi memiliki kewenangan yang sangat luas.
Penghapusan prapenuntutan sama saja upaya memotong sedikit kewenangan
itu, dan Luhut yakin polisi enggan. Kalaupun resistensi ada, kata
advokat yang meraih gelar doktor ilmu hukum dari Universitas Indonesia
itu, ini menjadi tantangan buat Tim Penyusun RUU KUHAP. Tentu saja, Tim
sudah mempertimbangkan praktik KUHAP yang selama ini menimbulkan
problem.
Dalam
seminar RUU KUHAP yang diselenggarakan Komisi Hukum Nasional (KHN) 9
November lalu, Andi Hamzah menegaskan pentingnya memotong birokrasi
KUHAP yang berbelit-belit. Namun seperti pernah disampaikan Andi,
penyusunan RUU KUHAP berjalan tertatih-tatih selama sembilan tahun
terakhir. Polisi malah sudah pernah menyampaikan keberatan atas beberapa
konsep RUU KUHAP. Untuk memberikan pemahaman yang sama, Tim Penyusun
sempat mengajak perwakilan polisi melakukan studi banding penerapan
hukum acara pidana di beberapa negara.
Tiga Puluh Tahun KUHAP
Perkembangan hukum
pidana formil tampaknya sulit dibendung. Satu per satu aturan KUHAP
diperbaiki oleh peraturan lain atau putusan hakim. Tak ubahnya seperti
kebijakan tambal sulam. Ada peraturan yang secara hierarkhis berada di
bawah UU No 8 Tahun 1981 (KUHAP). Misalnya, PP No 58 Tahun 2010 yang menambal kekurangan aturan KUHAP mengenai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
Sumber terkait : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4efd3ad3be2f5/tiga-puluh-tahun-kuhap
Kamis, 19 April 2012
Sikap Kejaksaan tentang "Kasus Kecil"
Kasus
pencurian sandal, pisang, kakao, dan piring mengundang keprihatinan
banyak pihak. Bagaimana tidak, acap kali penegak hukum terlihat “garang”
ketika menangani kasus seperti ini, ketimbang menangani kasus-kasus
besar yang melibatkan pejabat, perusahaan, atau aparat pemerintahan.
Padahal, secara ekonomis, kerugian yang diderita akibat tindak pidana tersebut tidak terlalu signifikan dibanding dengan tindak pidana lain, seperti korupsi. Bahkan, kasus-kasus kecil seperti ini, seharusnya dapat diupayakan perdamaian, sehingga tidak sampai ke pengadilan.
Pendapat seperti itu tidak hanya datang dari masyarakat umum. Jaksa Agung Basrief Arief juga menyatakan hal yang sama. Menurutnya, kasus-kasus wong cilik seperti ini memang mengundang keprihatinan masyarakat, termasuk aparat penegak hukum.
Padahal, secara ekonomis, kerugian yang diderita akibat tindak pidana tersebut tidak terlalu signifikan dibanding dengan tindak pidana lain, seperti korupsi. Bahkan, kasus-kasus kecil seperti ini, seharusnya dapat diupayakan perdamaian, sehingga tidak sampai ke pengadilan.
Pendapat seperti itu tidak hanya datang dari masyarakat umum. Jaksa Agung Basrief Arief juga menyatakan hal yang sama. Menurutnya, kasus-kasus wong cilik seperti ini memang mengundang keprihatinan masyarakat, termasuk aparat penegak hukum.
Langganan:
Postingan (Atom)