Salah
satu solusi mengatasi masalah berlarut-larutnya penanganan berkas
perkara pidana adalah memutus mata rantai prapenuntutan. Dengan
menghapus mata rantai prapenuntutan, jaksa sudah terlibat memberi arahan
kepada penyidik sejak awal penyidikan dimulai. Demikian pula halnya
ketika jaksa mulai menuntut, polisi bersiap-siap mendampingi. Polisi dan
jaksa harus mempertanggungjawabkan berkas perkara yang mereka susun.
Namun,
kehadiran jaksa sejak awal penyidikan bukan tanpa hambatan. Praktisi
hukum Luhut MP Pangaribuan khawatir ada resistensi dari kepolisian.
Kehadiran jaksa bisa ditafsirkan seolah-olah polisi merupakan ‘bawahan’
jaksa. “Yang jadi masalah, terjadinya resistensi, terutama dari polisi,”
ujarnya kepada hukumonline.
Luhut
dimintai komentar pekan lalu sehubungan dengan gagasan Tim Penyusun RUU
KUHAP untuk memotong jalur birokrasi dalam prapenuntutan. “Supaya
berkas tidak bolak balik terus antara penyidik dan penuntut seperti yang
selama ini terjadi,” kata Andi Hamzah memberi alasan. Prof. Andi Hamzah
adalah ketua Tim Penyusun RUU KUHAP.
Dalam
rezim KUHAP, kata Luhut, polisi memiliki kewenangan yang sangat luas.
Penghapusan prapenuntutan sama saja upaya memotong sedikit kewenangan
itu, dan Luhut yakin polisi enggan. Kalaupun resistensi ada, kata
advokat yang meraih gelar doktor ilmu hukum dari Universitas Indonesia
itu, ini menjadi tantangan buat Tim Penyusun RUU KUHAP. Tentu saja, Tim
sudah mempertimbangkan praktik KUHAP yang selama ini menimbulkan
problem.
Dalam
seminar RUU KUHAP yang diselenggarakan Komisi Hukum Nasional (KHN) 9
November lalu, Andi Hamzah menegaskan pentingnya memotong birokrasi
KUHAP yang berbelit-belit. Namun seperti pernah disampaikan Andi,
penyusunan RUU KUHAP berjalan tertatih-tatih selama sembilan tahun
terakhir. Polisi malah sudah pernah menyampaikan keberatan atas beberapa
konsep RUU KUHAP. Untuk memberikan pemahaman yang sama, Tim Penyusun
sempat mengajak perwakilan polisi melakukan studi banding penerapan
hukum acara pidana di beberapa negara.